Sejarah
Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi urat nadi kehidupan Mesir.Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada saat ini. Sebagian wilayah Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas-unggas air. Perburuan merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini, banyak hewan yang didomestikasi .
Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar di antara peradaban-peradaban awal adalah Badari di Mesir Hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.
Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia, yang menunjukkan beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukkan adanya hubungan antara Gerzia dengan Kanaan dan pantai Byblos.
Sementara itu, di Mesir Selatan, peradaban Naqada, mirip dengan Badari, mulai memperluas kekuasaannya di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 4000 SM. Sejak masa Naqada I, orang Mesir pra dinasti mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda lain yang terbuat dari flake.Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang dari masyarakat pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka berkuasa penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil.Setelah mendirikan pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III memperluas kekuasaan mereka ke utara.
Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang menunjukkan peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya - seperti tembikar yang dicat, vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, pelat kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari emas, lapis, dan gading. Mereka juga mengembangkan glasir keramik yang dikenal dengan nama tembikar glasir bening. Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk menulis bahasa Mesir kuno.
Periode Akhir
Dengan tiadanya rencana pendudukan permanen, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Saite dari dinasti ke-26. Pada tahun 653 SM, raja Saite Psamtik I berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran Yunani yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di delta.
Dibawah raja-raja Saite, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi dan budaya. Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin oleh Cambyses II memulai penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi. Pemberontakan-pemberontakan meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia secara permanen.
Setelah dikuasai Persia, Mesir digabungkan dengan Siprus dan Fenisia dalam satrapi ke-6 Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Periode pertama kekuasaan Persia atas Mesir, yang juga dikenal sebagai dinasti ke-27, berakhir pada tahun 402 SM. Dari 380–343 SM, dinasti ke-30 berkuasa sebagai dinasti asli terakhir Mesir. Restorasi singkat kekuasaan Persia, kadang-kadang dikenal sebagai dinasti ke-31, dimulai dari tahun 343 SM. Akan tetapi, pada 332 SM, penguasa Persia, Mazaces, menyerahkan Mesir kepada Alexander yang Agung tanpa perlawanan.
Militer
Angkatan perang Mesir kuno bertanggung jawab untuk melindungi Mesir dari serangan asing, dan menjaga kekuasaan Mesir di Timur Dekat Kuno. Tentara Mesir kuno melindungi ekspedisi penambangan ke Sinai pada masa Kerajaan Lama, dan terlibat dalam perang saudara selama Periode Menengah Pertama dan Kedua. Angkatan perang Mesir juga bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap jalur perdagangan penting, seperti kota Buhen pada jalan menuju Nubia. Benteng-benteng juga didirikan, seperti benteng di Sile, yang merupakan basis operasi penting untuk melancarkan ekspedisi ke Levant. Pada masa Kerajaan Baru, firaun menggunakan angkatan perang Mesir untuk menyerang dan menaklukan Kerajaan Kush dan sebagian Levant.
Peralatan militer yang digunakan pada masa itu adalah panah, tombak, dan perisai berbahan dasar kerangka kayu dan kulit binatang. Pada masa Kerajaan Baru, angkatan perang mulai menggunakan kereta perang yang awalnya diperkenalkan oleh penyerang dari Hyksos. Senjata dan baju zirah terus berkembang setelah penggunaan perunggu: perisai dibuat dari kayu padat dengan gesper perunggu, ujung tombak dibuat dari perunggu, dan Khopesh(berasal dari tentara Asiatik) mulai digunakan. Tentara direkrut dari penduduk biasa; namun, selama dan terutama sesudah masa Kerajaan Baru, tentara bayaran dari Nubia, Kush, dan Libya dibayar untuk membantu Mesir .
Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan terhadap dewi Isis, sebagai contoh, menjadi populer pada masaKekaisaran Romawi. Orang Romawi juga mengimpor bahan bangunan dari Mesir untuk mendirikan struktur dengan gaya Mesir. Sejarawan sepertiHerodotus, Strabo dan Diodorus Siculus mempelajari dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh misteri. DiAbad Pertengahan dan Renaissance, perkembangan budaya pagan Mesir mulai menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan Islam, namun ketertarikan terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan, misalnya karya Dhul-Nun al-Misri dan al-Maqrizi.
Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak barang antik dan menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang kemudian memancing terjadinya gelombang Egyptomania di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor Eropa yang membeli atau membawa barang-barang antik penting dari Mesir. Meskipun penjajahan kolonial Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah, kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir kuno. Napoleon, misalnya, melakukan pembelajaran pertama mengenai Egiptologi ketika ia membawa 150 ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan mendokumentasi sejarah alam Mesir, yang kemudian dipublikasi dalam Description de l'Ėgypte. Pada abad ke-20, pemerintah Mesir dan arkeolog mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan penggalian di Mesir dengan membentukSupreme Council of Antiquities.
0 komentar:
Posting Komentar